Pancasila Sebagai Sumber Hukum
5 minute read
0
Bagi
masyarakat Indonesia, Pancasila bukanlah sesuatu yang asing. Pancasila terdiri
atas 5 (lima) asas, tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan
diperuntukkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Sebagai dasar negara,
Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan popular
disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam
kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara RI, pada hakikatnya sebagai
dasar dan asas kerohanian dalam setiap aspek penyelenggaraan negara termasuk
dalam penyusunan tertib hukum Indonesia. Maka kedudukan Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber
hukum Indonesia, baik yang tertulis yaitu UUD Negara maupun hukum dasar tidak
tertulis atau konvensi.
Menurut
Prof. Hamid S. Attamimi, Pancasila berkedudukan sebagai Cita Hukum (Rechtsidee)
- bukan cita-cita hukum - dari negara Indonesia. Pancasila adalah Cita Hukum
yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Cita
Hukum berarti gagasan, pikiran, rasa, dan cipta mengenai hukum yang seharusnya
diinginkan masyarakat. Pancasila sebagai cita hukum
memiliki dua fungsi :
- Regulatif, artinya cita hukum menguji apakah hukum yang dan dibuat adil atau tidak bagi masyarakat.
- Konstitutif, artinya fungsi yang menentukan bahwa tanpa dasar cita hukum maka hukum yang dibuat akan kehilangan maknanya sebagai hukum.
Dalam
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan
bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara. Pernyataan
ini sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai dasar (filosofi) negara
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Sebagai sumber nilai
dan norma negara maka setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lebih jelas
lagi bahwa Pancasila sebagai sumber dasar hukum nasional artinya nilai-nilai
Pancasila dijadikan sumber normatif penyusunan hukum oleh karena Pancasila
sendiri merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik
Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-unsdangan serta
penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
berkedudukan sebagai norma dasar bernegara yang menjadi sumber, dasar, landasan
norma, serta memberi fungsi konstitutif dan regulatif bagi penyusunan
hukum-hukum negara.
Menurut
Hans Nawiasky, norma hukum dalam suatu negara berjenjang dan bertingkat
membentuk suatu tertib hukum. Norma yang di bawah berdasar, bersumber dan
berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar,
bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya
sampai pada norma tertinggi dalam negara yang disebut sebagai Norma Fundamental
Negara (Staatsfundamentalnorm). Norma dalam negara itu selain
berjenjang, bertingkat dan berlapis, juga membentuk kelompok norma hukum.
Hans
Nawiasky berpendapat bahwa kelompok norma hukum negara terdiri atas 4 (empat)
kelompok dasar, yaitu:
- Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara,
- Staatgrundgesetz atau aturan dasar/pokok negara,
- Formellgesetz atau undang-undang,
- Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.
Kelompok
norma itu bertingkat dan membentuk piramida. Kelompok norma tersebut hampir
selalu ada dalam susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai
istilah-istilah yang berbeda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap
kelompoknya.
Apabila
dikaitkan dengan norma hukum di Indonesia maka jelas bahwa Pancasila
berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm menurut Hans Nawiasky. Di
bawah Staatsfundamentalnorm terdapat Staatsgrundgesetz atau
aturan dasar negara. Aturan dasar negara disebut juga dengan hukum dasar negara
atau konstitusi negara. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung
atau sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konsitusi negara.
Negara
Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Berikut ini
adalah uraian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pendapat masyarakat
tentang arti hukum. Artinya, pengertian apakah yang diberikan masyarakat pada
hukum. Arti-arti yang diberikan antara lain:
- Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pikiran,
- Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi,
- Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan,
- Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis,
- Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law-enforcement officer),
- Hukum sebagai keputusan penguasa, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan,
- Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan yang “teratur”, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian,
- Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell : 1977).
Pentingnya
mengadakan identifikasi terhadap pelbagai arti hukum adalah untuk mencegah
terjadinya kesimpangsiuran di dalam melakukan studi terhadap hukum, maupun di
dalam penerapannya.
Hukum
itu merupakan keseluruhan keputusan-keputusan (dari pejabat maupun antar
pribadi), yang dilandasi keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan
hidup.
Faham
tentang kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang
menganggap bahwa kesadaran dalam diri warga masyarakat merupakan suatu faktor
yang menentukan bagi sahnya hukum. Masalah keasadaran hukum timbul di dalam
proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses
terssebut timbul masalah oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya
hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat)
dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya ataupun tidak ditaatinya hukum positif
tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan, bahwa ada
kesesuaian proporsional antara pengendalian sosial antar penguasa, kesadaran
warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum yang mengikat warga
masyarakat, kecuali atas dasar kesadaran hukumnya (G. E. Langemeijer : 1970).
Jadi,
kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam
diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan
suatu penilaian (menurut) hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan (Paul Scholten : 1954). Secara langsung maupun
tidak langsung, kesadaran hukum berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan
hukum, yang dikonkritkan dalam sikap tindak atau perikelakuan manusia.