Tentang Agama Lokal dan Tekanan Agama Resmi

Dari beberapa wawancara dengan masyrakat kajang, termasuk dengan kepala desa mereka selalu merasa bagian dari agama islam. Bahkan mereka tidak mau kalau dikatakan sebagai agama local. Untuk hal ini ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya:
1. Adanya proses Islamisasi, baik dengan tekanan maupun yang berupa hegemoni yang telah berlangsung sangat lama.
  • masa kerajaan Gowa (penyebaran awal islam)
  • Masa DI/TII dan Dompea
  • Masa orde baru, gerakan pembebasan terhadap PKI
  • Masa tahun 70-an sampai 80-an (gerakan dakwah dn pendidikan) thn 80-an sampai 90-an (UMI) dengan saat ini gerakan KPSSI, termasuk tekanan PEMDA utamanya dengan munculnya PERDA syarat Islam
 2. Islam dalam pandangan mereka sudah menyatu dalam kehidupannya, bagi mereka islam berasal dari kajang sehingga susah untuk dikatakan mereka bukan islam. Yang terakhir ini meski mereka mengidentifikasikan diri mereka ke dalam islam, tetapi sekaligus juga ini adalah resisstensi. Hal imi misalnya terlihat dari cara mereka mengalihkan pusat islam ke Kajang, cara mereka memposisikan al-quran, tata cara mereka dalam menjalankan syariat untuk yang terakhir ini. Saya mengalaminya sendiri bersama mereka, ketika itu jumat dan saya bersama mereka di dalam daerah adt. Mesjid sangat jauh, lalu salah seorang bertanya apakah saya tidak sholat jumat/ Saya menjawab jauh jaraknya.
   “ Kita ini meskipun kita tidak sholat secara nyata tetapi kita sesungguhnya sholat tiap saat, yaitu “ Tapakkoro” ucap kepala desa benteng.
3. Dalam sehari-hari, meskipun pemerintah setempat berusaha untuk menekankan pentingnya menjalankan syariat, khususnya dengan mulainya menggalakkan miliki al-quran termasuk di dalam kawasan, juga dengan memasukkan guru-guru ngaji ke daerah kawasan namun dalam kawasan soal itu tidak menjadi penting. Anak-anak mereka memang tetap disuruh ngaji naming bagi mereka lebih utama membantu orang tua di kebun, alasan ini bisa dijadikan tameng oleh kalangan orang tua, mengapa misalnya anak-anaknya tidak bisa rajin ngaji atu bahkan berhenti ngaji
Refleksi tgl 5-3- 2005
Dalam wawncara dengan beberapa pejabat instnsi, diantarnya  DEPAG, DEPKES, Pegawai gizi, Kadis, Imam Desa dan beberapa pejabat lain: terungkap bgaimana sesungguhnya mereka dalam memandang Kajamg. Bagi instansi semacam DEPAg, banyak tradisi di kajang yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran islam, karena mereka perlu dirubah, dikembalikan keajaran sesungguhnya. Makanya menurut mereka PERDA syariat islam harus disosialisasikan terhadap mereka. Bagi instansi ini yang bisa tetap ada di Kajang hanyalah sisi eksotisnya misalnya; cara hidup sederhana; keadaan alam yang masih natural itulah yang dipertahankan, tapi bila tradisi itu telah berbau kufrat apalagi musyrik maka harus dirubah, hal itu diperkuat oleh Kades dan Imam Desa, mereka yang menjadi agen sosialisasi dari kebijakan instansi DEPAG tadi
Dalam menyikapi hal-hal seperti ini, komunitas tana toa (khusus di dalam kawasan) nampaknya macet, misalnya ketika ada didirikan TPA yang sebenarnya ada di dalam kawasan, mereka terpaksa menerima. Namun tentu saja mereka tidak menurut begitu saja, ada saja cara-cara mereka mensiasati, misalnya tempat guru ngaji itu digarisi oleh amma toa bahwa ini di luar kawasan. Awal mulanya anak-anak memang dating ngaji, tapi lama- kelamaan berkurang dengan alasan mereka harus membantu orang tua,. Prinsip hidup mereka ternyata dalam konteks tertentu menjadi tameng dan alasan bagi beberapa kalangan untuk berkelit dari kewajiban sekolah ataupun ngaji.
Mengenai kesehatan:
Program ini sudah lama dicanangkan pada kepala adat kajang, bahkan pada tahun 80-an terjadi pemaksaan untuk ikut program KB. Pihak kesehatan, pemerintah dan militer kerjasaama memaksa penduduk untuk memasang spiral untuk perempuan, saat itu menurut keterangan dari bidan desa, banyak ibu-ibu yang mengalami infeksi pada kemaluannya karena saat pemasngan dipaksakan masyarakat saat itu diburu-buru untuk diikutkan program KB. Kebijaksanaan itu berlaku untuk seluruh Bulukumba, tapi yang paling parah adalah di sekitar kajang, Herlang dan Bontot Tiro.
Setelah cara pemaksaan ini mulilah program sosialisasi kesehatan di laksanakan mulai dari penyuluhan-penyuluhan, posyandu, dan kader posyandu maupun sosialisasi gizi terus dilaksanakan sekitar tahun 1993 berhasil didirikan posyandu di dalam kawasan adat. Kini bahkan pos di daerah perbatasan dalam kawasan dan di luar kawasan didirikan puskesmas.
Saat ini nampaknya gerakan ini mulai mempengaruhi ke dalam lokasi adat bahkan sanro juga sudah dilatih sedemikian rupa tentang kesehatan oleh pihak depkes. Merka juga mulai meniru cara hidup sehat seperti yang diajarkan dari luar tepi sekali lagi proses ini tidak utuh diterima oleh ketua adat. Di sana sini nampak adanya keretakan, misalnya mereka tetap ……………… sanro sebelum ke bidan, bhkan bagi mereka ada penyakit dalam kawasan tak bisa diobti oleh dokter, tapi harus sanro. Bahkan posyandu yang di dalam membuat mereka lebih berguna kalau dijadikan pos kamling(……..boleh jadi siasat, tapi bisa juga disatu sisi bisa menjadi alat kontrol aparat). Pada tiap tanggal 24 ada program posyandu namun ketika saya kunjungi nampak sunyi senyap. Menurut ibu bidan ini karena di dalam kawasan sedang ada acara : “Andingingi” dan upacara adat lebih penting dari program apapun.

Idealisme Kepemimpinan Kajang
Saat ini meskipun beberapa pemangku adat dan kepala desa menganggap bahwa amma toa di kajamg tetap satu, tetapi realitasnya di kajang telah terjadi, Dualisme kepemimpinan :
Di tengah komunitas adat sendiri realitas dualisme ini nampak jelas sekali. Dalam acara-acara adat, masyarakat terbagi dalam mengundan Amma. Yang apabila ada acara adat mengundang Ruto Palasa (yang diakui oleh KADES). Ada pula yang mengundang Puta Bekkang. Apa sebenarnya yang terjadi, dalam pemilihan ini? Menurut Puto Kalu kalau seandainya pemilihan ini konsisiten dengan tata cara pemilihan dulu, maka mustahil akan terjadi. Dualisme semacam ini. Apakah dengan demikian pemilihan Amma Toa sudah di intervensi atau sudah di konstruk dari luar?
Intervensi itu nmpaknya jelas. Sebab meskipun masih mengikuti tata cara yang ada, namun ada beberapa hal yang berubah misalnya konteks awalnya yang terpilih adalah Puto Bekkang sehari dengan wangsit ia lalu menyerahkan kepada Puto Palasa. Namun yang aneh saat ini Puto Palasa yang merasa sebagai Amma sementara Puto Bekkang dianggapnya sebagai wakil.
Sekedar diketahui pemilihan Amma dilakukan menjelang legislative, namun apakah ada kaitannya dengan persoalan pemilihan legislative dan dualisme, nmpaknya agak sama. Namun politisasi pemilihan Amma jelas, dan ada kepentingan luar yang bermain yang paling jelas hal ini berkaitan dengan posisi Amma yang saat ini terbilang cukup strategis untuk ditarik keberbagai kepentingan . Cerita tentang pemilihan Amma Toa kali ini juga nampak muncul dalam dua versi.