Budaya Korupsi di Indonesia
6 minute read
0
Korupsi
(bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere
= busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politis maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Korupsi dapat didefinisikan juga sebagai suatu
tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konteks modern), yang melayani
kepentingan umum untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek
korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat
tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Dalam
arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan
pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama
sekali.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut :
- Perbuatan melawan hukum,
- Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi,
- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut
Ongokham, ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi pertama terjadi di
tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan
mencakup nilai uang yang lebih besar. Sementara itu dalam dimensi lain, yang
umumnya terjadi di lingkungan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung
dengan kepentingan rakyat atau orang banyak.
Korupsi
yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap kali menghambat kepentingan
kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya
proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, proses perizinan
di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di
jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis ataupun pribadi, dan lain
sebagainya.
Menurut
Lembaga Transparency International, DPR berubah drastis dari lembaga tukang
stempel di era Orde Baru menjadi salah satu lembaga terkorup bersama kepolisian
dan pengadilan.
Contoh
konkrit hal tersebut adalah dapat dilihat pada pemerintah atau wakil rakyat
yang baru yang menempati komisi basah DPR. Komisi basah tersebut adalah Komisi
III bidang hukum dan keamanan, Komisi VII bidang pertambangan dan energi, dan
Komisi X bidang pendidikan dan budaya. Komisi basah
(komisi yang mengeluarkan uang) ini, malah diperebutkan oleh sejumlah partai
politik (parpol) yang merupakan tempat bernaung para calon wakil rakyat
tersebut.
Perebutan
ini sekaligus mencerminkan apa sesungguhnya motovasi mereka menjadi anggota
DPR. Apakah mereka ke Senayan karena nafkah atau karena pengabdian. Pengalaman
sejauh ini dengan jelas memperlihatkan motivasi nafkah jauh lebih dominan
daripada motivasi pengabdian. Karena itu mereka mengincar komisi yang memiliki
banyak proyek, atau komisi basah. Semua partai dan fraksi berlomba merebut
kedudukan ketua atau wakil ketua yang mungkin diraih dalam komisi-komisi basah itu.
Apakah
ini wajah pemerintahan Indonesia? Apakah ini kelakuan para calon wakil rakyat?
Mereka hanya mementingkan uang masuk ke dalam kantong mereka tanpa ada
pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberikan amanat dan dengan tulus
hati memilih mereka untuk menjadi wakil rakyat. Lalu, apakah arti sumpah dan
janji yang yang diucapkan ketika pelantikan para wakil rakyat di Jakarta?
Apakah ini hanya formalitas supaya rakyat percaya bahwa wakil rakyat telah
diambil sumpah dan siap untuk menjalankan pemerintahan dengan jujur dan bersih?
Padahal mereka (wakil rakyat) diambil sumpah di bawah kitab suci. Saksi bisu
yang tidak dipungkiri kebenarannya.
Sungguh
memprihatinkan. Kekuasaan dan harta telah membutakan mata para pejabat.
Jangan-jangan benar apa yang pernah diucapkan oleh mantan wakil presiden M.
Hatta, bahwa “Korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan telah
menjadi suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.”
Banyak
faktor atau kondisi yang mendukung munculnya korupsi, diantaranya:
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah,
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar,
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”,
- Lemahnya ketertiban hukum,
- Lemahnya profesi hukum,
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa,
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil,
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang tidak memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum,
- Kurangnya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau korupsi,
- Tidak beratnya hukum atau sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Kondisi
inilah yang memberikan celah dan tempat bagi para koruptor untuk melakukan
tindakan korupsi. Mungkin para koruptor berpikir bahwa tidak ada tempat untuk
tidak korupsi. Di mana pun mereka (para koruptor) berada, asalkan yang
mengandung banyak uang, maka di sanalah tempat bagi mereka untuk panen uang.
Atau mungkin apabila berada di tempat yang tidak banyak menghasilkan uang,
mereka memaksakan untuk menghasilkan uang. Apa pun caranya dan bagaimana pun
akhirnya, yang penting uang adalah segalanya.
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa bukan hanya di kalangan atas korupsi itu
terjadi, tetapi juga korupsi juga terjadi di kalangan menengah dan bawah. Dari
pejabat tingkat menteri, sampai dengan tingkat daerah seperti gubernur,
walikota, bupati, camat, dan terakhir rakyat.
Kita
sering melihat atau mendengar di media massa bahwa korupsi telah sampai mewabah
ke pemerintahan tingkat daerah. Misalnya kasus Abdullah Puteh, mantan gubernur
Aceh dalam pembelian helikopter dan APBD, serta Agus Supriadi, mantan bupati
Garut yang menggunakan dana APBD, dan banyak lagi kasus lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa seolah-olah korupsi itu mudah dan bisa dilakukan oleh siapa
saja dan di mana saja. Korupsi bisa menerkam siapa saja tanpa pandang bulu.
Jikalau
ini terus terjadi, apakah pemerintahan kita akan terus dihuni oleh para “tikus
berdasi”? Bagaimana negara ini akan maju dan makmur apabila para penguasa yang
memegang kendali pemerintahan bersikap demikian? Lantas, kemanakah sumpah yang
terucap dari mulut mereka, janji yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan,
Pancasila, rakyat, bangsa dan negara? Apakah kita harus menitipkan negara ini
dan berharap kepada mereka yang telah nyata apa motivasi mereka masuk
pemerintahan?
Sekarang
rakyat hanya bisa terdiam. Terdiam karena melihat para wakilnya bekerja yang
jauh dari harapan. Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, begitu pun dengan hukum yang
ada. Para aktivis dan mahasiswa yang berteriak di berbagai daerah menuntut
untuk diberantasnya korupsi, hanyalah perbuatan yang sia-sia. Aspirasi mereka
(para aktivis dan mahasiswa) selama ini tidak pernah didengar oleh para penegak
hukum. Setelah ada kasus yang besar dan merugikan negara, barulah para penegak
hukum itu pun bertindak.
Lalu,
apakah dampak negatif dari korupsi ini? Dampak negatif dari tindak korupsi ini
sangatlah luas dan besar. Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan
proses formal. Korupsi di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan
perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan
ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis
kemampuan institusi dan pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai
demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan, dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidakefisienan yang
tinggi. Korupsi menimbulkan distorsi di dalam sektor publik dengan mengalihkan
investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah
tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat
untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi
memerlukan dua pihak yang korup; pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Pada umumnya orang yang sering memberikan sogokan tidak sama dengan
orang yang sering menerima sogokan. Budaya penyogokan mencakup semua aspek
kehidupan sehari-hari, menghilangkan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat
penyogokan.
Merupakan suatu pekerjaan rumah yang sangat besar dan berat
bagi bangsa Indonesia. Harapan terbesar rakyat Indonesia adalah jangan sampai
Indonesia terjerumus semakin dalam dan terpuruk di dasar kelamnya korupsi ini.