Makalah tentang Korupsi
20 minute read
0
MAKALAH
KORUPSI MERAKYAT,
HUKUM MELARAT
Ditujukan untuk memenuhi salah satu
tugas Mata Kuliah Dasar Umum Pendidikan Pancasila
Disusun oleh :
Nama : Sukmal Aqiela Abiemanyu
NIM: 12.602.155
Kelas : A5C
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS INDONESIATIMUR MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan ke hadirat Alloh SWT., karena taufik dan hidayah-Nya
makalah ini dapat selesai disusun. Sholawat dan salam semoga terlimpah curah
kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW., kepada para sahabatnya, para tabi’it,
para tabi’it tabi’in, sampai kepada kita selaku umatnya. Amin.
Makalah
ini dibuat dengan menitikberatkan isi tentang korupsi yang merajalela di
Indonesia. Korupsi yang merupakan penyakit sosial ini merupakan perbuatan yang
melawan hukum, terutama Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Hukum yang dianggap lemah dan kurang tegas, dituntut untuk bangkit dan bekerja
lebih optimal dalam memberantas korupsi. Supaya Indonesia terbebas dari
kubangan korupsi yang semakin dalam.
Ucapan
terima kasih saya sampaikan kepada dosen yang telah memberi materi dengan baik,
kerabat dan semua pihak yang telah memberi masukan dan bantuan dalam
penyelesaian makalah ini.
Saya
menyadari bahwa tiada manusia yang sempurna, demikian juga saya dalam menyusun
makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang
sifatnya membangun akan saya terima dengan tangan terbuka.
Makassar, Desember 2014
Penyusun,
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Pancasila
B.
Pancasila Sebagai Sumber Hukum
C.
Budaya Korupsi di Indonesia
D.
Bangkitkan Hukum Sekarang Juga
BAB
III KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Korupsi
adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejak masa VOC, Hindia Belanda,
dari rezim Orde Baru Soeharto, yang dipercaya telah meninggalkan banyak
persoalan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang juga melibatkan diri dan
keluarganya, hingga sekarang masa Orde Reformasi yang sudah dipimpin oleh
Presiden dan Wakil Presiden terpilih masa bakti 2009-2014. Kita pun sebagai
warga negara/rakyat seolah-olah sudah terbiasa dengan hadirnya penyakit sosial
ini. Bahkan korupsi semakin terbuka dan menjadi-jadi dikala hukum di negara ini
dalam keadaan lemah.
Hukum
yang berlaku dan dianggap keras dan tegas ternyata tidak mampu mengatasi
masalah korupsi ini. Meskipun penjelasannya sudah tertera jelas di dalam
Undang-Undang, bahkan dibantu dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang didirikan pada tahun 2004, tetap saja tidak bisa menghilangkan
korupsi di tanah air.
Kita
semua tahu bahwa hukum tertinggi dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia
adalah Pancasila, sebagaimana kedudukannya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Tetapi statement tersebut seolah-olah dijadikan pelengkap dalam
penulisan hukum-hukum Indonesia, atau bahkan dianggap telah hilang
keberadaannya di Indonesia. Padahal nilai-nilai yang tercantum di dalam
Pancasila itu dijadikan pedoman dalam perumusan serta pembuatan hukum-hukum
yang ada di Indonesia. Termasuk hukum pidana korupsi. Ternyata dalam
pelaksanaannya, justru korupsi inilah yang semakin kuat dan merajalela,
sedangkan hukum yang didasari oleh dan dari Pancasila semakin lemah dan pudar
seiring berjalannya waktu, meskipun “dasar negara” ini telah lama berdiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang menyebabkan korupsi ini terus ada dan merajalela di Indonesia?
2.
Mengapa hukum tidak bisa memberantasnya sampai sekarang?
3.
Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan penyakit sosial ini dari tanah air
Indonesia, setidaknya meminimalisir semakin kuatnya korupsi ini?
4.
Bagaimana hukum harus bangkit?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Pancasila
Sebelum
membahas lebih jauh tentang hukum dan korupsi, alangkah baiknya kita mengetahui
dahulu sejarah singkat Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sumber hukum
Indonesia.
Pancasila,
sebelum dibentuk atau dirumuskan, telah ada sejak zaman kerajaan yang berupa
nilai-nilainya saja. Bahkan nilai-nilai Pancasila tercantum pada Kitab Sutasoma
karangan Empu Tantular, dan sebagai cikal bakal nilai-nilai Pancasila sekarang.
Para penduduk kerajaan bersama-sama untuk membangun wilayah kerajaan yang damai
dengan dipimpin oleh seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Rasa persatuan
dan kerakyatan yang dimiliki oleh penduduk kerajaan inilah yang mendasari
adanya nilai-nilai Pancasila sejak zaman kerajan.
Begitu
juga pada fase penjajahan. Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil, dipaksa
bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan kaum penjajah, sedangkan kehidupannya
sendiri sangatlah memprihatinkan tanpa ada rasa iba serta tidak beradabnya
perilaku para penjajah. Hal inilah yang memicu rakyat Indonesia untuk
merapatkan barisan. Bersatu untuk melawan kaum penjajah yang telah mengganggu
ketentraman hidup serta dengan semena-mena memperlakukan rakyat. Akhirnya
dengan persatuan yang kuat para penjajah pun berhasil diusir dari tanah air
Indonesia.
Masuk
fase Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, musyawarah para tokoh dan pemuda ini untuk
mencapai suatu mufakat telah mencerminkan nilai-nilai Pancasila, yaitu
musyawarah untuk mufakat. Hingga akhirnya masuk kepada Sidang BPUPKI I. Pada
sidang pertama ini dibahas asal mula rumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Pada
sidang ini ada 3 tokoh yang berpidato dan masing-masing memaparkan gagasannya
dalam merumuskan dasar negara. Yang pertama adalah Moch. Yamin. Menurutnya
negara Indonesia harus memiliki 5 dasar-dasar negara, yaitu Periketuhanan,
Perikeadilan, Perikemanusiaan, Perikebangsaan, dan Perikesejahteraan.
Selanjutnya adalah pidato dari Soepomo. Beliau menjelaskan tentang teori
kenegaraan sebagai dasar negara. Yang ketiga pidato dari Soekarno yang
mengungkapkan bahwa negara harus memiliki 5 dasar, yaitu Ketuhanan (Soekarno
menyebutnya dengan istilah religieustiet), Internasionalisme,
Kebangsaan Nasional atau Nasionalisme, Mufakat atau Permusyawaratan, dan
Kesejahteraan Sosial. Kelima konsep hidup yang kemudian dikenal dengan
Pancasila ini, menurut Soekarno digali berdasarkan fenomena kehidupan agraris
Indonesia dan ditemukan dalam buku “Kertagama”.
Pada
Sidang BPUPKI II terjadi pertentangan mengenai sila Pertama antara golongan
agama dengan golongan kebangsaan. Adalah golongan agama wilayah Indonesia Timur
yang sebagian besar beragama Non Muslim yang menolak apabila Sila Pertama pada
Pancasila hanya diperuntukkan kaum Muslim atau besifat khusus. Mereka
menganggap bahwa mereka seperti dikucilkan atau tidak diakui sebagai warga
Indonesia. Maka atas hasil kesepakatan bersama diubahlah Sila Pertama pada
Pancasila seperti yang sekarang kita ketahui.
Selain
dirumuskannya kembali Pancasila, dalam sidang kedua ini juga disepakati bentuk
negara Indonesia, yaitu Republik, dimana negara akan dipimpin oleh seorang
Presiden.
Sejarah
akan Pancasila memang panjang. Tetapi apakah dengan panjangnya sejarah
perumusan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi Pancasila seutuhnya, dapat
membuat panjang atau lama pula integritas Pancasila sebagai dasar negara
sekaligus sumber hukum di Indonesia?
B.
Pancasila Sebagai Sumber Hukum
Bagi
masyarakat Indonesia, Pancasila bukanlah sesuatu yang asing. Pancasila terdiri
atas 5 (lima) asas, tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan
diperuntukkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Sebagai dasar negara,
Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan popular
disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam
kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara RI, pada hakikatnya sebagai
dasar dan asas kerohanian dalam setiap aspek penyelenggaraan negara termasuk
dalam penyusunan tertib hukum Indonesia. Maka kedudukan Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber
hukum Indonesia, baik yang tertulis yaitu UUD Negara maupun hukum dasar tidak
tertulis atau konvensi.
Menurut
Prof. Hamid S. Attamimi, Pancasila berkedudukan sebagai Cita Hukum (Rechtsidee)
- bukan cita-cita hukum - dari negara Indonesia. Pancasila adalah Cita Hukum
yang menguasai hukum dasar negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Cita
Hukum berarti gagasan, pikiran, rasa, dan cipta mengenai hukum yang seharusnya
diinginkan masyarakat. Pancasila sebagai cita hukum
memiliki dua fungsi :
- Regulatif, artinya cita hukum
menguji apakah hukum yang dan dibuat adil atau tidak bagi masyarakat.
- Konstitutif, artinya fungsi
yang menentukan bahwa tanpa dasar cita hukum maka hukum yang dibuat akan
kehilangan maknanya sebagai hukum.
Dalam
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dinyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara.
Pernyataan ini sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai dasar (filosofi)
negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Sebagai sumber
nilai dan norma negara maka setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lebih
jelas lagi bahwa Pancasila sebagai sumber dasar hukum nasional artinya
nilai-nilai Pancasila dijadikan sumber normatif penyusunan hukum oleh karena
Pancasila sendiri merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik
Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-unsdangan serta
penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
berkedudukan sebagai norma dasar bernegara yang menjadi sumber, dasar, landasan
norma, serta memberi fungsi konstitutif dan regulatif bagi penyusunan
hukum-hukum negara.
Menurut
Hans Nawiasky, norma hukum dalam suatu negara berjenjang dan bertingkat
membentuk suatu tertib hukum. Norma yang di bawah berdasar, bersumber dan
berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar,
bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya
sampai pada norma tertinggi dalam negara yang disebut sebagai Norma Fundamental
Negara (Staatsfundamentalnorm). Norma dalam negara itu selain
berjenjang, bertingkat dan berlapis, juga membentuk kelompok norma hukum.
Hans
Nawiasky berpendapat bahwa kelompok norma hukum negara terdiri atas 4 (empat)
kelompok dasar, yaitu:
- Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara,
- Staatgrundgesetz atau aturan dasar/pokok negara,
- Formellgesetz atau undang-undang,
- Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan
aturan otonom.
Kelompok
norma itu bertingkat dan membentuk piramida. Kelompok norma tersebut hampir
selalu ada dalam susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai
istilah-istilah yang berbeda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap
kelompoknya.
Apabila
dikaitkan dengan norma hukum di Indonesia maka jelas bahwa Pancasila
berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm menurut Hans Nawiasky. Di
bawah Staatsfundamentalnorm terdapat Staatsgrundgesetz atau
aturan dasar negara. Aturan dasar negara disebut juga dengan hukum dasar negara
atau konstitusi negara. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung
atau sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konsitusi negara.
Negara
Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Berikut ini adalah
uraian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pendapat masyarakat tentang arti
hukum. Artinya, pengertian apakah yang diberikan masyarakat pada hukum.
Arti-arti yang diberikan antara lain:
- Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pikiran,
- Hukum sebagai disiplin, yakni
suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi,
- Hukum sebagai kaedah, yakni
pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau
diharapkan,
- Hukum sebagai tata hukum, yakni
struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis,
- Hukum sebagai petugas, yakni
pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law-enforcement officer),
- Hukum sebagai keputusan
penguasa, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari
sistem kenegaraan,
- Hukum sebagai sikap tindak atau
perikelakuan yang “teratur”, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan
cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian,
- Hukum sebagai jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang
dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell : 1977).
Pentingnya
mengadakan identifikasi terhadap pelbagai arti hukum adalah untuk mencegah
terjadinya kesimpangsiuran di dalam melakukan studi terhadap hukum, maupun di
dalam penerapannya.
Hukum
itu merupakan keseluruhan keputusan-keputusan (dari pejabat maupun antar
pribadi), yang dilandasi keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan
hidup.
Faham
tentang kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang
menganggap bahwa kesadaran dalam diri warga masyarakat merupakan suatu faktor
yang menentukan bagi sahnya hukum. Masalah keasadaran hukum timbul di dalam
proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses
terssebut timbul masalah oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya
hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat)
dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya ataupun tidak ditaatinya hukum positif
tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan, bahwa ada
kesesuaian proporsional antara pengendalian sosial antar penguasa, kesadaran
warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum yang mengikat warga
masyarakat, kecuali atas dasar kesadaran hukumnya (G. E. Langemeijer : 1970).
Jadi,
kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam
diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan
suatu penilaian (menurut) hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan (Paul Scholten : 1954). Secara langsung maupun
tidak langsung, kesadaran hukum berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan
hukum, yang dikonkritkan dalam sikap tindak atau perikelakuan manusia.
C.
Budaya Korupsi di Indonesia
Korupsi
(bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere
= busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politis maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Korupsi dapat didefinisikan juga sebagai suatu
tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konteks modern), yang melayani
kepentingan umum untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek
korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat
tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Dalam
arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan
pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama
sekali.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut :
- Perbuatan melawan hukum,
- Penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana,
- Memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau korporasi,
- Merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Menurut
Ongokham, ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi pertama terjadi di
tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan
mencakup nilai uang yang lebih besar. Sementara itu dalam dimensi lain, yang
umumnya terjadi di lingkungan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung
dengan kepentingan rakyat atau orang banyak.
Korupsi
yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap kali menghambat kepentingan
kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya
proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, proses perizinan
di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di
jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis ataupun pribadi, dan lain
sebagainya.
Menurut
Lembaga Transparency International, DPR berubah drastis dari lembaga tukang
stempel di era Orde Baru menjadi salah satu lembaga terkorup bersama kepolisian
dan pengadilan.
Contoh
konkrit hal tersebut adalah dapat dilihat pada pemerintah atau wakil rakyat
yang baru yang menempati komisi basah DPR. Komisi basah tersebut adalah Komisi
III bidang hukum dan keamanan, Komisi VII bidang pertambangan dan energi, dan
Komisi X bidang pendidikan dan budaya. Komisi basah
(komisi yang mengeluarkan uang) ini, malah diperebutkan oleh sejumlah partai
politik (parpol) yang merupakan tempat bernaung para calon wakil rakyat
tersebut.
Perebutan
ini sekaligus mencerminkan apa sesungguhnya motovasi mereka menjadi anggota
DPR. Apakah mereka ke Senayan karena nafkah atau karena pengabdian. Pengalaman
sejauh ini dengan jelas memperlihatkan motivasi nafkah jauh lebih dominan
daripada motivasi pengabdian. Karena itu mereka mengincar komisi yang memiliki
banyak proyek, atau komisi basah. Semua partai dan fraksi berlomba merebut
kedudukan ketua atau wakil ketua yang mungkin diraih dalam komisi-komisi basah
itu.
Apakah
ini wajah pemerintahan Indonesia? Apakah ini kelakuan para calon wakil rakyat?
Mereka hanya mementingkan uang masuk ke dalam kantong mereka tanpa ada
pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberikan amanat dan dengan tulus
hati memilih mereka untuk menjadi wakil rakyat. Lalu, apakah arti sumpah dan
janji yang yang diucapkan ketika pelantikan para wakil rakyat di Jakarta?
Apakah ini hanya formalitas supaya rakyat percaya bahwa wakil rakyat telah
diambil sumpah dan siap untuk menjalankan pemerintahan dengan jujur dan bersih?
Padahal mereka (wakil rakyat) diambil sumpah di bawah kitab suci. Saksi bisu
yang tidak dipungkiri kebenarannya.
Sungguh
memprihatinkan. Kekuasaan dan harta telah membutakan mata para pejabat.
Jangan-jangan benar apa yang pernah diucapkan oleh mantan wakil presiden M.
Hatta, bahwa “Korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan telah
menjadi suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.”
Banyak
faktor atau kondisi yang mendukung munculnya korupsi, diantaranya:
- Kurangnya transparansi di
pengambilan keputusan pemerintah,
- Proyek yang melibatkan uang
rakyat dalam jumlah besar,
- Lingkungan tertutup yang
mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”,
- Lemahnya ketertiban hukum,
- Lemahnya profesi hukum,
- Kurangnya kebebasan berpendapat
atau kebebasan media massa,
- Gaji pegawai pemerintah yang
sangat kecil,
- Rakyat yang cuek,
tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang tidak memberikan perhatian yang
cukup ke pemilihan umum,
- Kurangnya kontrol yang cukup
untuk mencegah penyuapan atau korupsi,
- Tidak beratnya hukum atau
sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sehingga tidak
menimbulkan efek jera.
Kondisi
inilah yang memberikan celah dan tempat bagi para koruptor untuk melakukan
tindakan korupsi. Mungkin para koruptor berpikir bahwa tidak ada tempat untuk
tidak korupsi. Di mana pun mereka (para koruptor) berada, asalkan yang
mengandung banyak uang, maka di sanalah tempat bagi mereka untuk panen uang.
Atau mungkin apabila berada di tempat yang tidak banyak menghasilkan uang,
mereka memaksakan untuk menghasilkan uang. Apa pun caranya dan bagaimana pun
akhirnya, yang penting uang adalah segalanya.
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa bukan hanya di kalangan atas korupsi itu
terjadi, tetapi juga korupsi juga terjadi di kalangan menengah dan bawah. Dari
pejabat tingkat menteri, sampai dengan tingkat daerah seperti gubernur,
walikota, bupati, camat, dan terakhir rakyat.
Kita
sering melihat atau mendengar di media massa bahwa korupsi telah sampai mewabah
ke pemerintahan tingkat daerah. Misalnya kasus Abdullah Puteh, mantan gubernur
Aceh dalam pembelian helikopter dan APBD, serta Agus Supriadi, mantan bupati
Garut yang menggunakan dana APBD, dan banyak lagi kasus lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa seolah-olah korupsi itu mudah dan bisa dilakukan oleh siapa
saja dan di mana saja. Korupsi bisa menerkam siapa saja tanpa pandang bulu.
Jikalau
ini terus terjadi, apakah pemerintahan kita akan terus dihuni oleh para “tikus
berdasi”? Bagaimana negara ini akan maju dan makmur apabila para penguasa yang
memegang kendali pemerintahan bersikap demikian? Lantas, kemanakah sumpah yang
terucap dari mulut mereka, janji yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan,
Pancasila, rakyat, bangsa dan negara? Apakah kita harus menitipkan negara ini
dan berharap kepada mereka yang telah nyata apa motivasi mereka masuk
pemerintahan?
Sekarang
rakyat hanya bisa terdiam. Terdiam karena melihat para wakilnya bekerja yang
jauh dari harapan. Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, begitu pun dengan hukum
yang ada. Para aktivis dan mahasiswa yang berteriak di berbagai daerah menuntut
untuk diberantasnya korupsi, hanyalah perbuatan yang sia-sia. Aspirasi mereka
(para aktivis dan mahasiswa) selama ini tidak pernah didengar oleh para penegak
hukum. Setelah ada kasus yang besar dan merugikan negara, barulah para penegak
hukum itu pun bertindak.
Lalu,
apakah dampak negatif dari korupsi ini? Dampak negatif dari tindak korupsi ini
sangatlah luas dan besar. Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan
proses formal. Korupsi di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan
perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan
ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis
kemampuan institusi dan pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai
demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan, dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidakefisienan yang
tinggi. Korupsi menimbulkan distorsi di dalam sektor publik dengan mengalihkan
investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah
tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat
untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi
memerlukan dua pihak yang korup; pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Pada umumnya orang yang sering memberikan sogokan tidak sama dengan
orang yang sering menerima sogokan. Budaya penyogokan mencakup semua aspek
kehidupan sehari-hari, menghilangkan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat
penyogokan.
Merupakan
suatu pekerjaan rumah yang sangat besar dan berat bagi bangsa Indonesia.
Harapan terbesar rakyat Indonesia adalah jangan sampai Indonesia terjerumus
semakin dalam dan terpuruk di dasar kelamnya korupsi ini.
D.
Bangkitkan Hukum Sekarang Juga
Membangkitkan
hukum berarti menegakkan kembali integritas hukum yang ada di Indonesia. Dalam
hal ini adalah mencakup masalah korupsi. Hukum adalah sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana.
Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tertuang secara jelas dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 Perubahan Ketiga berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machessaat),
dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
Yang
dimaksud dengan negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh
hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum,
kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi
hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa KAmal
Pasha, 2003).
Negara
berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme)
sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh
mengabaikan tiga ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
(Achmad Ali, 2002). Di negara hukum, hukum tidak hanya sebagai “formalitas”
atau “prosedur” belaka dari kekuasaan. Bila sekedar formalitas, hukum dapat
menjadi sarana pembenaran untuk dapat melakukan tindakan yang salah atau
menyimpang. Contoh, pada masa lalu presiden sering membuat “Keppres” sebagai
tempat berlindung dengan dalih telah berdasarkan hukum, padahal dengan Keppres
tersebut presiden dapat menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh karena itu di negara
hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”.
Berdasarkan
pernyataan di atas, secara umum bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Lalu, bagaimana keadaan keadaan hukum di Indonesia sekarang? Dalam cakupannya
dengan masalah korupsi, hukum Indonesia bisa dikatakan dalam keadaan lemah.
Berbagai upaya dilakukan oleh aparat hukum untuk memberantas korupsi ini.
Tetapi tetap saja ada dan itu semakin meluas. Mungkin bisa dibilang “gugur satu
tumbuh seribu”.
Korupsi
di Indonesia harus dihapuskan. Berbagai cara harus dilakukan untuk membuat
korupsi ini tidak meluas. Untuk mencegah meluasnya wabah korupsi, salah satunya
dapat dilakukan dengan partisipasi publik dalam mengontrol penyelenggaraan
negara, dalam hal ini adalah peran media massa. Media massa sangat dibutuhkan
oleh masyarakat sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat, untuk
mengetahui apa dan bagaimana para pejabat dalam menyelenggarakan kebijakan
Negara di pemerintahan. Hal ini sangat diperlukan mengingat kurangnya
pengetahuan masyarakat akan hal pemerintahan dan kurangnya pula transparansi
pemerintah atau pejabat dalam pengambilan keputusan.
Akuntabilitas
dan transparansi birokrasi pemerintahan di Indonesia menjadi syarat lain untuk
mengeliminasi korupsi pada birokrasi pemerintahan. Transparansi sangat penting
dilakukan pemerintah untuk supaya rakyat mengetahui apa yang sedang terjadi di
pemerintahan. Sekarang masih terlihat kurangnya transparansi dan akuntabilitas
pemerintahan. Buktinya rakyat tidak mengetahui, atau seolah-olah bodoh dalam
menilai kinerja pemerintah. Bukankah para pejabat di pemerintahan itu dipilih
oleh rakyat secara langsung? Mengapa sekarang setelah duduk manis di kursi
pemerintahan tidak bertanggungjawab kepada rakyat? Bahkan janji-janji yang
dilontarkan pada saat kampanye untuk mensejahterakan rakyat, telah mereka
lupakan karena terlalu nikmat duduk di kursi jabatan. Rakyat telah menjadi
korban janji-janji palsu mereka.
Di
sinilah peran publik dan media massa, serta lembaga masyarakat dan organisasi
lain untuk memantau kinerja pemerintah. Mereka semua harus bisa mendorong para
pejabat/pemerintah untuk bersikap transparan atau terbuka. Hanya saja, langkah-langkah
publik untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas itu seolah masih
membentur tembok kekar birokrasi yang tebal. Malahan korupsi terkesan terbuka
dan menjadi-jadi.
Berbicara
mengenai kebangkitan hukum, sebenarnya awalnya terletak di dalam hati dan jiwa
manusia itu sendiri. Manusia harus mempunyai kesadaran hukum dan disiplin
hukum. Kesadaran dan disiplin hukum inilah yang bisa membangkitkan hukum dengan
sebaik-baiknya karena manusia adalah merupakan subyek hukum. Masalahnya
sekarang adalah apakah manusia itu mempunyai kesadaran hukum? Apabila dikaitkan
dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, apakah manusia itu
telah memaknai dan menjiwai nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila?
Jikalau nilai-nilai Pancasila tersebut telah dimaknai dan dijiwai dengan
sebenar-benarnya, mungkin korupsi di Indonesia tidak akan ada sama sekali.
Karena dengan diamalkannya nilai-nilai tersebut (yang menjadi pedoman hukum),
maka manusia atau rakyat telah memiliki kesadaran akan hukum dan berjalannya
ketertiban hukum.
Suatu
hal yang mudah untuk diucapkan, tetapi susah untuk dilakukan. Membangkitkan
hukum bukanlah perkara yang mudah. Membutuhkan proses yang panjang dan waktu
yang lama untuk itu semua. Tetapi kita semua harus yakin dan optimis bahwa
suatu saat nanti supremasi hukum di Indonesia akan bangkit dan berjaya kembali.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Pancasila
bukanlah sesuatu hal yang asing. Pancasila terdiri atas 5 (lima) asas, tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan diperuntukkan sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas
kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat
negara (Philosofische Gronslag).
Dalam
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dinyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai
sumber nilai dan norma dasar negara maka setiap materi muatan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai
dasar negara berkedudukan sebagai norma dasar bernegara.
Tindak
pidana korupsi dari sudut pandang hukum, merupakan suatu perbuatan yang melawan
hukum. Banyak faktor yang mendukung munculnya korupsi, diantaranya:
- Kurangnya transparansi di
pengambilan keputusan pemerintah,
- Proyek yang melibatkan uang
rakyat dalam jumlah besar,
- Lemahnya ketertiban hukum,
- Lemahnya profesi hukum,
- Kurangnya kebebasan berpendapat
atau kebebasan media massa,
- Tidak beratnya sanksi/hukuman
yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek
jera.
Korupsi
telah membudaya di Indonesia. Seperti yang pernah diucapkan oleh mantan wakil
presiden M. Hatta bahwa “Korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan
telah menjadi suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.” Korupsi dapat
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi juga mempersulit pembangunan
ekonomi yang mengurangi kualitas pelayanan pemerintah. Melihat situasi ini,
maka perlu adanya upaya membangkitkan hukum.
Membangkitkan
hukum berarti menegakkan kembali integritas hukum yang ada di Indonesia.
Pemberantasan korupsi harus segera dilakukan. Untuk mencegah meluasnya wabah
korupsi, salah satunya dapat dilakukan dengan partisipasi publik dalam
mengontrol penyelenggaraan negara. Akuntabilitas dan transparansi birokrasi
pemerintahan menjadi syarat lain untuk mengeliminasi korupsi pada birokrasi
pemerintahan.
Perlu
adanya kesadaran hukum dalam hati dan jiwa manusia Indonesia. Mereka harus
memaknai dan menjiwai setiap nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Jikalau nilai-nilai tersebut telah dijiwai dan dimaknai, serta diamalkan dengan
sebena-benarnya, mungkin korupsi di Indonesia tidak akan ada sama sekali.
Dengan ini manusia Indonesia telah memiliki kesadaran hukum dalam berjalannya
ketertiban hukum.
B.
Saran
Supaya
korupsi ini tidak semakin meraja, perlu adanya pengawasan langsung dari
presiden kita. Pembentukan komisi anti korupsi saja tidak cukup untuk memantau
para koruptor. Apabila pejabat/menteri yang ketahuan melakukan tindak korupsi,
apapun bentuknya, maka presiden langsung menindaknya. Bahkan harus dipecat
langsung.
Semua
elemen hukum pun harus bekerja sama. Kepolisian, pengadilan, lembaga masyarakat
seperti ICW (Indonesia Corruption Watch) harus ikut serta dalam memantau
perkembangan korupsi di Indonesia. Perlu juga hukuman yang diterima oleh para
koruptor ditambah dengan seberat-beratnya. Kalau perlu hukuman seumur hidup
atau bahkan hukuman mati. Sehingga ada efek jera kepada koruptor lain yang
masih berkeliaran.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan.
2004. Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi. Yogyakarta:
Paradigma.
Winarno.
2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Santosa,
Kholid O. 2007. Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945.
Bandung: Sega Arsy.
Subandi,
Idy, & Iriantara, Yosal. Drs. M.S. 2003. Melawan Korupsi Di Sektor
Publik. Bandung: Saresehan Warga Bandung (SAWARUNG).
Surat
kabar Media Indonesia, edisi 2 Oktober 2009.
Surat
kabar Media Indonesia, edisi 14 Oktober 2009.