SISTEM NILAI TUKAR UANG DALAM ISLAM
9 minute read
0
Sejarah mencatat, dalam sistem
moneter Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang
(kurs valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating
Exchange Rate System dan Pegged Exchange Rate System
Era fixed exchange rate system
ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini
menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible terhadap emas
atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS menjadi acuan
(numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan
dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral
Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Dengan
demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan emas melalui
USD. Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas
yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap
dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara
besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan
Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan
menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini
kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan
emas. Praktis, cadangan emas di Fort
Knox berkurang secara
drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System
melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara
lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi
mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada
titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate. Floating
exchange rate atau sistem kurs mengambangadalah sistem yang ditetapkan melaui
mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali
tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan
sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung
terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap
harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan
nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui
intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu
negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat
besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan
bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai
rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional”
(Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged
exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan
mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan
mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh
negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda
dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard
currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui
kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan
sebagai acuan.
Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem
moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa
argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan
oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik
dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang
sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang
paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana
pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’,
gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga
usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan
kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang
mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti,
betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih
tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama,
saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan
dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah
dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara
Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak
penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar
ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali
di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system
sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin
kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini
bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih
Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy
(Presiden Perancis).
Keunggulan Gold Exchange Standard
Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali
pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain:
Pertama, jumlah uang yang beredar
di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana
sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai
tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.
Kedua, dengan menggunakan gold
exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan
mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni
kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus.
Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price
specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit
BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar
negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya
harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif
yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan
lebih besar.
Ketiga, keuntungan mengunakan
gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya
dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi
perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya
merupakan barrier bagi perdagangan.
Beberapa Catatan
Di depan telah disinggung bahwa
perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya
Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan:
Pertama, mata uang yang dipakai
sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara
tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya
dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire
adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.
Kedua, harus ada kontrol ketat
bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang
memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu,
otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh
negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.
SISTEM NILAI TUKAR UANG DALAM ISLAM
Sejarah mencatat, dalam sistem
moneter Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang
(kurs valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating
Exchange Rate System dan Pegged Exchange Rate System
Era fixed exchange rate system
ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini
menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible terhadap emas
atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS menjadi acuan
(numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan
dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral
Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Dengan
demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan emas melalui
USD. Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas
yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap
dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara
besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan
Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan
menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini
kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan
emas. Praktis, cadangan emas di Fort
Knox berkurang secara
drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System
melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara
lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi
mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada
titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate. Floating
exchange rate atau sistem kurs mengambangadalah sistem yang ditetapkan melaui
mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali
tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan
sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung
terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap
harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan
nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui
intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu
negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat
besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan
bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai
rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional”
(Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged
exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan
mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan
mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh
negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda
dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard
currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui
kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan
sebagai acuan.
Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem
moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa
argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan
oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik
dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang
sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang
paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana
pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’,
gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga
usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan
kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang
mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti,
betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih
tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama,
saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan
dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah
dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara
Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak
penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar
ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali
di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system
sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin
kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini
bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih
Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy
(Presiden Perancis).
Keunggulan Gold Exchange Standard
Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali
pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain:
Pertama, jumlah uang yang beredar
di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana
sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai
tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.
Kedua, dengan menggunakan gold
exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan
mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni
kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus.
Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price
specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit
BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar
negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya
harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif
yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan
lebih besar.
Ketiga, keuntungan mengunakan
gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya
dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi
perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya
merupakan barrier bagi perdagangan.
Beberapa Catatan
Di depan telah disinggung bahwa
perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya
Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan:
Pertama, mata uang yang dipakai
sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara
tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya
dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire
adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.
Kedua, harus ada kontrol ketat
bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang
memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu,
otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh
negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.